PERSELISIHAN dua pihak
yang saling berseberangan –yang pro dan kontra terhadap kemerdekaan Republik
Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945– sedang mencapai puncaknya
pada akhir tahun 1945 di Aceh.
Pihak yang mendukung berdirinya Republik Indonesia
yang merdeka dan berdaulat, ingin secepat mungkin kolonial Jepang hengkang dari
bumi nusantara, serta menolak kembalinya kolonialisme Belanda di Indonesia,
yang sebelumnya telah menyerah tanpa syarat pada pasukan negeri matahari terbit
(Jepang) tersebut.
Pihak terdepan, yang mewakili rakyat Aceh yang menginginkan
tegaknya Republik Indonesia (RI) segera bebas dari cengkeraman penjajahan
adalah Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).
Peta wilayah Aceh era kolonial Belanda [Dok. Istimewa] |
Sedangkan pihak yang
sangat menentang keras kemerdekaan RI adalah para bangsawan, yang telah lama
menjalin kerjasama, sekaligus menjadi perwakilan pribumi yang menjalankan roda
pemerintahan dan kepentingan administrasi kolonial Belanda di Aceh.
Mereka
adalah para uleebalang, yang khawatir bahwa kemerdekaan RI –yang
mengikutsertakan Aceh di dalamnya– akan menghilangkan status istimewa uleebalang,
yang telah lama diberikan oleh kolonial Belanda pada mereka melalui perjanjian Korte
Verklaring, setelah lumpuhnya Kerajaan Aceh (1496 – 1903); akibat kerjasama
kolonial Belanda dengan uleebalang.
Ketegangan antara PUSA
(beserta para pendukung kemerdekaan RI) dengan uleebalang bermuara
pada meletusnya perang, yang kelak dikenal sebagai Perang Cumbok (1945
– 1946).
Konflik bersenjata pun tak terhindarkan. PUSA yang sebelumnya berupaya
menghindari konflik, mau tak mau terpaksa melakukan perlawanan terhadap uleebalang,
yang telah memulai perang ini dengan menangkap sekaligus membunuh para
tokoh-tokoh kharismatik PUSA.
Perang pun berkobar seperti “nyala api yang
membakar rerumputan kering”. Rakyat Aceh yang telah lama ditindas serta
hak-haknya dirampas di bawah kekuasaan feodal dan absolut parauleebalang,
menyokong tindakan PUSA untuk melakukan serangan balik terhadap kekejaman uleebalang yang
telah bertindak di luar batas kemanusiaan.
Perang Cumbok yang
dimulai pada Desember 1945 hingga Januari 1946, juga disebut sebagai Revolusi
Desember. Di mana tatanan sosial yang feodal akhirnya berhasil ditumbangkan oleh
perlawanan rakyat Aceh.
TATANAN SOSIAL FEODAL ULEEBALANG
Istilah Uleebalang dalam
bahasa Aceh mengacu kepada seseorang yang mengepalainanggroe (suatu
wilayah otonom / federasi), yang wewenangnya diberikan oleh Sultan Aceh sebagai perwakilan Sultan di daerah melalui pembubuhan Cap Sikureueng (cap
sembilan) pada surat pengangkatan uleebalang.
Para uleebalang identik
dengan gelar “Teuku”. Dan, bagi keturunannya yang lelaki tetap menggunakan
gelar “Teuku” (disapa ‘Ampon’ atau disingkat ‘Pon’); sedangkan anaknya yang
perempuan menyandang gelar “Po Cut” atau “Cut” saja.
"Dalam teritorial yang
berada di bawah kekuasaan uleebalang, wewenang Sultan Aceh hanya sekadar
formalitas belaka. Sehingga uleebalang dapat bertindak bebas tanpa
perlu persetujuan dari Sultan. Wilayah nanggroe yang dipimpin oleh uleebalang,
kemudian diadopsi oleh kolonial Belanda dengan nama Land Schoppen;
sedangkan uleebalang-nya disebut Zelfbestuurder (penguasa wilayah
otonom)" .( M. Nur El Ibrahimy, 2001: 84-85).
Keadaan sosial di saat uleebalang masih
berkuasa di Aceh yang diproteksi oleh kolonial Belanda, mirip dengan tatanan
kasta yang berlaku dalam ajaran Hindu. Masyarakat dibedakan menurut tingkatan
sosial, yang dilihat dari silsilah “keturunan” pihak tertentu.
Sistem tatanan
sosial yang berlaku di Aceh pada masa itu, sangatlah kompleks dan rumit.
Polarisasinya bahkan sangat memecah-belah masyarakat Aceh. Feodalisme semacam
ini, kian mendapatkan “habitat”-nya tatkala kolonial Belanda mulai
memberlakukan administrasi sipil melalui perwakilannya di Aceh, yakni uleebalang.
Situasi kolaps yang
menimpa Kerajaan Aceh pada ekspedisi kedua kolonial Belanda (9 Desember 1873)
memberikan kesempatan pada upaya kolaborasi kolonial Belanda-Uleebalang,
yang telah dimulai sejak tahun 1876, merupakan gagasan dari Teuku Nek Meuraksa,
seorang uleebalang yang memimpin wilayah dekat Kutaradja (sekarang
Banda Aceh).
Di mana para uleebalang yang
menyerah dan memimpin suatu wilayah di bawah kekuasaannya yang absolut dan
turun-temurun, mengadakan perjanjian dengan kolonial Belanda agar kekuasaannya
dapat bertahan dan tidak mengalami situasi seperti Kerajaan Aceh, yang dikenal
sebagai Korte Verklaring (perjanjian pendek), yang terdiri dari 18
pasal. Inti dari perjanjian ini menegaskan bahwa:
Wilayah uleebalang merupakan
bagian dari Hindia Belanda;
Dijaga jangan sampai
terlibat tanpa izin dengan orang asing; dan
Mengizinkan pengawasan
oleh Belanda sepanjang menyangkut bea-cukai dan pungutan-pungutan lain jika
diperlukan.( Antony Reid, 2005: 301).
Teuku Nek Meuraksa, penggagas kerjasama uleebalang dengan kolonial Belanda [Dok. Istimewa] |
Menurut Hasan Saleh,
yang juga pelaku sejarah dalam peristiwa Perang Cumbok, ketika kolonial Belanda
mulai menjalankan administrasi pemerintahannya di Aceh,uleebalang selaku
perwakilan kolonial Belanda yang terikat dengan perjanjian, diberikan hak-hak
eksklusif, yang antara lain:
Di bidang
Eksekutif, uleebalang berhak memerintah sebagai wakil kolonial
Belanda di Aceh;
Legislatif, diatur
berdasarkan adat-istiadat menurut kehendak masing-masing (pribadi) uleebalang;
dan Yudikatif, dibentuk
lembaga peradilan yang disebut Land Scheepsrecht dalam bahasa Belanda
(bahasa Aceh musapat), yang berwenang menjatuhkan hukuman apa pun terhadap
pihak-pihak yang tidak disukai oleh uleebalang, sehingga membawa
konsekuensi penderitaan dan malapetaka bagi rakyat Aceh.
Kekuasaan lembaga
peradilan ini sangatlah luas, tidak hanya mencakup bidang sipil dan kepidanaan,
tetapi juga meliputi masalah keagamaan serta masalah nikah, pasah, talak dan
rujuk.
Luasnya jangkauan kekuasaan yang berada di bawah wewenang uleebalang,
maka dengan mudah seorang isteri diceraikan dari suaminya untuk dipersunting
oleh uleebalang yang berhasrat pada isteri yang diceraikan tersebut.
Sehingga muncul frasa yang menunjukkan kekesalan di dalam masyarakat Aceh pada
waktu itu: “uleebalang; tanoh gob, tanoh jih; inong gob, inong jih.” (uleebalang;
tanah orang, tanah dia; isteri orang, isteri dia) (Hasan Saleh, 1992: 16).
Karena administrasi
hukum dan agama juga dipusatkan dalam kekuasaannya, sedikit kemungkinan untuk
menggugat apa yang dilakukan oleh uleebalang. (Antony Reid, 2012: 21).
Dengan dikuasainya
lembaga peradilan (musapat) oleh uleebalang, sementara kolonial Belanda
telah berkolaborasi dengan uleebalang untuk tidak mencampuri sedikit
pun dalam hal ini, maka berbagai penyelewengan akhirnya terjadi; dan terus
bertambah dari waktu ke waktu di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh uleebalang. (Nazaruddin Sjamsuddin,
1999: 19).
Akibat dari tatanan
sosial yang feodal ini, sikap antipati rakyat Aceh pun bermunculan dan terus
membesar terhadap uleebalang, yang mencapai klimaks-nya pada Desember
1945. Perlawanan rakyat pun berkobar.
Harapan rakyat untuk bebas dari kekangan
dan penindasan oleh uleebalang bukan lagi hal yang mustahil. Pekik
perlawanan rakyat tak lagi bisa dibungkam. Revolusi telah di depan mata.
REFORMASI PENDIDIKAN DI ACEH
Sebelum Perang Cumbok
mendera, kondisi Aceh dari masa 1930-an hingga 1940-an, sedang mengalami
transformasi yang berkembang pesat. Khususnya dalam hal pendidikan. Salah satu
kontribusinya adalah pola pikir masyarakat Aceh yang ikut berubah.
Terutama
para generasi muda. Rakyat Aceh yang sebelumnya awam tentang politik, mulai
memahami apa saja hak-hak dasarnya yang tidak boleh dirampas, apalagi ditindas.
Baik itu dilakukan oleh kolonial Belanda, maupun oleh perwakilan pihak penjajah
yang dimaksud (uleebalang).
Gerakan yang muncul di
tahun 1930-an ini bangkit dari kalangan kaum ulama tradisional Aceh.
Modernisasi pun dimulai. Bagi para ulama ini, modernisasi selaras dengan tujuan
ajaran Islam yang menginginkan tercapainya kemajuan bagi kehidupan masyarakat.
Sekolah rakyat (volkschool) pada tahun 1913 di Lamteuba, Kec. Seulimuem, Aceh Besar. [Media-kitlv.nl] |
Hampir semua anak-anak
Aceh pada masa itu, baik yang bersekolah diVolkschool –sekolah 3 tahun
dengan tujuan mengajar membaca dan menulis dalam bahasa Melayu dengan aksara
latin– maupun sebagian anak Aceh yang sama sekali tidak sekolah, setiap hari
memiliki waktu beberapa jam yang digunakan untuk mengaji Al-Qur’an.
Pengajian
seperti ini telah berlangsung berabad-abad lamanya. Meskipun semikian, pada era
1920-an gaya pendidikan Dayah –suatu tingkat pendidikan agama
tertinggi di Aceh– mendapat tantangan.
Beberapa ulama tradisional terkemuka
dengan penuh semangat menjawab tantangan ini dengan mendirikan sekolah-sekolah
dengan kurikulum yang lebih luas dan cara pengajaran yang lebih modern, dengan
tidak menghilangkan ciri khas pendidikan Islam yang berlaku diDayah.(Reid, Op.cit.,
2012: 33-34).
Potret Volkschool di Aceh pada masa lampau [Dok. Istimewa] |
Salah satu usaha
mendirikan sekolah yang perlu diberi perhatian khusus karena kemampuannya
mengembangkan organisasi yang luas dan kepemimpinan yang kharismatik, yaitu
sekolah Jamiatul Diniyah yang didirikan oleh Teungku Muhammad Daud
Beureu’eh (Abu
Daud Beureu’eh) pada 1930-an di Garot, dekat Sigli. Daud lahir di Beureu’eh
pada tahun 1899.
Ia mendapatkan sebagian besar pendidikannya dari sekolah
tradisional keagamaan di daerah asalnya di Pidie. Meskipun demikian, ia terbuka
pada cara-cara baru pengajaran dan praktik agama serta kesejahteraan
masyarakat. Dengan cepat ia menjadi terkenal sebagai orator yang sangat
berbakat dan persuasif.
Peta wilayah nanggroe-nanggroe uleebalang di Pidie masa kolonial Belanda [Wikipedia] |
Sebelumnya, pada
1920-an, ulama muda yang vokal ini terpaksa meninggalkan kampung halamannya
karena diteror oleh seorang uleebalang tua dan sangat kejam di wilayah
Pidie, penguasa nanggroe Keumangan, Teuku Umar Keumangan.
Berkat mendapat
perlindungan dari Tuanku Raja Keumala (penasihat utama Gubernur kolonial
Belanda bidang agama di Aceh), Daud Beureu’eh berturut-turut mengajar di
Tapaktuan (Aceh Selatan) dan Lhokseumawe (Aceh Utara).
Di dua tempat ini ia
menunjukkan keahlian dan semangat yang hebat dalam mengatasi pertentangan
antara “kaum muda” dan “kaum tua”.
Puncak antusiame
reformis ini adalah terbentuknya organisasi modern, Persatuan Ulama Seluruh
Aceh (PUSA) pada 1939-1942. Organisasi ini lahir dari satu konferensi yang
dipersiapkan dengan sangat hati-hati pada Mei 1939 oleh Teungku Abdul Rahman
dari Perguruan Islam di Peusangan sekarang masuk dalam wilayah Bireuen.
Teungku Muhammad Daud Beureu’eh terpilih sebagai Ketua Umum PUSA secara
aklamasi.
PERLAWANAN RAKYAT
Sebagai organisasi yang
dikhususkan untuk bidang pendidikan, PUSA tidak serta-merta menutup mata bahwa
realita di Aceh saat itu, sedang berada di bawah kolonialisme Belanda –dan
selanjutnya Jepang. Menindaklanjuti kenyataan itu, para pemuda PUSA mulai
melakukan suatu gerakan politik yang bertujuan mengusir pihak penjajah dari bumi
Aceh.
Dan, pada akhirnya,
ketika kemerdekaan RI berhasil diraih dan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945,
rakyat Aceh sangat antusias menyambut kabar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
semangat berdirinya republik dari rakyat Aceh sangatlah besar. PUSA yang
merupakan organisasi terkemuka di Aceh pada masa itu, mendukung penuh
kemerdekaan Republik Indonesia.
Namun, kabar gembira
ini kurang mendapat sambutan –kalau tidak ingin disebut penolakan– dari para uleebalang,
yang di masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, mendapatkan status
istimewa, yang memberikan kewenangan bagi mereka berkuasa secara mutlak dan tak
boleh digugat sama sekali oleh rakyat Aceh, kecuali pihak kolonial Belanda yang
melakukannya. Pertentangan pun dimulai.
Bentuk ketidaksenangan uleebalang diwujudkan
dengan teror bersenjata bagi setiap rakyat Aceh yang mendukung kemerdekaan RI.
Para tokoh utama yang diburu olehuleebalang adalah pemimpin kharismatik
PUSA, yang mempunyai pengaruh besar dan dekat dengan rakyat Aceh.
Pusat
pertentangan hebat antara uleebalang dan PUSA yang didukung oleh
rakyat Aceh, berlokasi di Pidie. Dari wilayah ini pula kejatuhan uleebalang dimulai,
kekuasaan feodal uleebalang runtuh satu per satu, hingga pada
akhirnya uleebalang tidak lagi mendapatkan tempat di seluruh penjuru
Aceh.
Peta yang memperlihatkan secara rinci nanggroe-nanggroeuleebalang di Pidie. [Dok. Istimewa] |
Sebelumnya, Fujiwara sebagai
organisasi yang didirikan kolonial Jepang, dalam buku memoarnya mencatat
mengenai situasi di Aceh pada pertemuan mereka 14 Januari 1941:
“Rakyat Aceh sangat
benci kepada Belanda dan uleebalang. Uleebalangadalah orang-orang
kepercayaan Belanda dan penindas rakyat, hampir semua rakyat Aceh tidak percaya
kepada uleebalang dan bahkan benci kepada mereka.
Rakyat Aceh adalah
penganut agama Islam yang sangat taat, sedemikian rupa sehingga atas nama Islam
mereka tidak takut perang dan tidak takut mati. Organisasi-organisasi Aceh
semuanya berlandaskan Islam. Organisasi yang terbesar adalah PUSA.”(Antony Reid, 2011: 284).
Gugurnya banyak
penduduk desa membuktikan anggapan rakyat tentanguleebalang sebagai
kumpulan manusia-manusia buas. Hal itu juga membuktikan keluhan-keluhan rakyat
terhadap para uleebalang. Ketakutanuleebalang juga semakin meningkat
mengenai masa depannya yang suram dalam suatu masyarakat Aceh yang
“demokratis”.
Dengan segala kesalahan-kesalahannya, saat itu Teuku Daud Cumbok
(Ampon Cumbok), yang juga penguasa nanggroe Cumbok, tampil sebagai
satu-satunya tokoh yang mungkin bisa menyelamatkan kekuasaan uleebalang yang
absolut dan feodal.
Utusan-utusan uleebalang segera di kirim ke Medan
(sekarang wilayah Sumatera Utara) untuk memohon bantuan pada pelindungnya,
kolonial Belanda yang kembali ke Indonesia dengan cara “menumpang” pada
pasukan sekutu yang dipimpin Inggris untuk melucuti senjata pasukan Jepang yang
telah menyerah setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat;
dan selanjutnya kolonial Belanda berkeinginan untuk kembali menjajah Indonesia. (Reid, Op.cit.,
2012: 278-279).
Rumah Teuku Daud Cumbok di Lam Meulo pada tahun 1912 [Media-kitlv.nl] |
Kembalinya kolonial
Belanda melalui pasukan sekutu ke wilayah RI yang baru saja diproklamirkan
kemerdekaannya, ditanggapi oleh golongan uleebalang sebagai kabar
gembira. Sebab, kekuasaan absolut uleebalang yang telah banyak
direduksi semasa kolonial Jepang akan segera dipulihkan, bila kolonial Belanda
berhasil kembali ke Aceh.
Sebagian besar uleebalang Pidie
kemudian mengadakan “kenduri” dan berkumpul di Beureunuen pada 22 Oktober 1945.
Bertempat di rumah uleebalang paling kejam di Pidie, yaitu Teuku Umar
Keumangan.
Dua ekor kerbau disembelih pada acara kenduri tersebut. Rapat
konsolidasi ini dilakukan guna menyemangati parauleebalang untuk
menghadapi situasi yang cepat berubah dan menyerukan untuk bersatu, demi mempertahankan
kekuasaan mereka. (Hasan Saleh, Op.cit., 1992: 37-38),
Rumah mewah (waktu itu) milik Teuku Umar Keumangan pada tahun 1920-an [Lihat Reid, 2012: hlm. 40] |
Setelah terjadi
ketegangan hebat pada 4 Desember 1945 di kota Sigli, selanjutnya pada 10
Desember 1945, para uleebalang kembali berkumpul di Njong, Lueng Putu
(sekarang wilayah Pidie Jaya), tepatnya di rumah Teuku Laksamana Umar dan
melakukan rapat.
Hasil keputusannya adalah membentuk pasukan bersenjata yang
dinamakan Badan Penjaga Keamanan (BPK), yang bertugas melakukan teror terhadap
siapa pun yang menentang uleebalang, tidak terkecuali ulama. (Antony Reid, Op.cit.,
2012: 279).
Setelah pertemuan di
Lueng Putu itu, Daud Cumbok menghukum semua tokoh penting PUSA dan Pemuda
Republik Indonesia (PRI) yang bisa dijumpainya. Pada 10-11 Desember 1945,
pengikut-pengikutnya menggerebek rumah 4 tokoh PRI yang paling terkemuka di Lam
Meulo (sekarang Kota Bakti, wilayah Pidie), tetapi totoh-tokoh ini telah lebih
dulu melarikan diri.
Sejumlah besar pakaian dan barang berharga dirampas pasukan
Daud Cumbok. Orang-orang Daud Cumbok suka menggunakan tindakan-tindakan kasar
dan barbar terhadap pihak yang dianggap sebagai musuh. Pasukan istimewa Daud
Cumbok, yaitu pasukan “Cap Sauh” dan “Cap Tombak”. Kedua pasukan ini tugasnya
adalah merampok, menculik, memperkosa dan membunuh tanpa pandang bulu.
Keluarga Teuku Daud Cumbok saat berada di rumahnya pada tahun 1912 [Media-kitlv.nl] |
Para pemimpin terkemuka
dari organisasi-organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang pro kemerdekaan RI
dan sangat anti-kolonial Belanda, mulai menaruh simpati pada perjuangan rakyat
di Pidie yang melakukan perlawanan terhadap uleebalang yang
notabenya perwakilan kolonial Belanda di Aceh.
Dukungan pun mengalir. Sekitar
5000-an orang yang dilengkapi persenjataan dan siap tempur, mulai bergerak ke
Pidie untuk melakukan serangan balik pada Daud Cumbok. Mereka sebagian besar
berasal dari Seulimuem (Aceh Besar), Bireuen, dan Idi (Aceh Timur); dan juga
dari beberapa wilayah lainnya di Aceh.
Serangan balik yang
sangat menentukan terjadi pada 12 Januari 1946. Pertempuran sengit berkecamuk
sepanjang hari. Menjelang malam, hasilnya sudah hampir dipastikan bahwa perlawanan
rakyat terhadap Daud Cumbok akan berhasil.
Tetapi kemudian mereda sejenak, yang
dimanfaatkan oleh Daud Cumbok beserta 90 pengikutnya untuk melarikan diri.
Tujuan Daud Cumbok dan pengikutnya adalah ke Sabang sebuah pulau yang pada
masa itu masih dikuasai oleh kolonial Belanda yang berperan sebagai pelindung uleebalang.
Peta yang menunjukkan pejuang republik bersama rakyat Aceh mengepung dan melakukan penyerangan terhadap orang-orang pro kolonial Belanda yang dipimpin Teuku Cumbok. [Dok. Istimewa] |
Mereka menuju jajaran
perbukitan antara Pidie dan Aceh Besar, dengan harapan dapat meretas jalan
hingga sampai ke suatu tempat, di mana mereka bisa mendapatkan perahu untuk
menyeberang. Meskipun demikian, karena diburu oleh ribuan orang, mereka segera
terkepung di lereng Gunung Seulawah.
Kontak-tembak terjadi lagi. Dan, pada 16
Januari 1946 Daud Cumbok beserta pengikutnya menyerah. Perang Cumbok selesai
dan nama Lam Meulo pun hilang dari peta bumi. Nama kota itu diganti menjadi
Kota Bakti, untuk menghormati para pahlawan dan rakyat yang gugur di sana.
Atjeh Tram; Kereta api di Aceh pada masa kolonial Belanda, yang menghubungkan Beureunuen-Lam Meulo (sekarang Kota Bakti) pada tahun 1913 [media-kitlv.nl]. |
Dampak dari perlawanan
heroik rakyat Aceh terhadap kekuasaan feodal uleebalang–yang telah lama
merampas dan menindas rakyat dengan dukungan kolonial Belanda– dalam Perang
Cumbok adalah demokratisasi masyarakat Aceh secara keseluruhan. “Segala sesuatu
yang menjadi duri di mata rakyat semasa pemerintahanuleebalang dihapuskan.
Pertanian, perkebunan, peternakan dan sebagainya, diusahakan oleh rakyat dengan
giat".
Adanya partisipasi
rakyat Aceh yang luas dalam perlawanan terhadap uleebalang, juga didorong
oleh harapan kembalinya tanah-tanah mereka, yang telah dirampas oleh uleebalang selama
berkuasa.
Dan, juga merupakan wujud kesetiaan rakyat kepada ulama Aceh, serta
tentu saja ingatan yang tidak pernah pupus mengenai perjuangan tiada henti
melawan si kafir kolonial Belanda, yang menjadi pelindung bagi uleebalang.
Bentuk perlawanan
rakyat Aceh terhadap kekuasaan tirani uleebalang, merupakan puncak dari
keinginan rakyat untuk mengakhiri penindasan yang mereka alami selama ini. Di
mana uleebalang berkuasa secara mutlak dan semena-mena, dengan
dukungan dari kolonial Belanda.
Torehan sejarah dalam
Perang Cumbok menunjukkan bahwa rakyat Aceh bersama PUSA, beserta
organisasi-organisasi lainnya yang mendukung kemerdekaan, menyokong penuh
berdirinya negara Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat dan demokratis;
serta bebas dari segala bentuk penjajahan oleh pihak asing.
editor : Ni
sumber: baranom.wordpress.com.
0 komentar :