Senin, 19 Januari 2015

Perang Cumbok, Bentuk Perlawanan Bangsa Aceh terhadap Uleebalang (1945-1946).

Unknown     14.26    

PERSELISIHAN dua pihak yang saling berseberangan –yang pro dan kontra terhadap kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945– sedang mencapai puncaknya pada akhir tahun 1945 di Aceh. 

Pihak yang mendukung berdirinya Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, ingin secepat mungkin kolonial Jepang hengkang dari bumi nusantara, serta menolak kembalinya kolonialisme Belanda di Indonesia, yang sebelumnya telah menyerah tanpa syarat pada pasukan negeri matahari terbit (Jepang) tersebut. 

Pihak terdepan, yang mewakili rakyat Aceh yang menginginkan tegaknya Republik Indonesia (RI) segera bebas dari cengkeraman penjajahan adalah Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).

Perang Cumbok, Bentuk Perlawanan Bangsa Aceh terhadap Uleebalang (1945-1946).
Peta wilayah Aceh era kolonial Belanda [Dok. Istimewa]


Sedangkan pihak yang sangat menentang keras kemerdekaan RI adalah para bangsawan, yang telah lama menjalin kerjasama, sekaligus menjadi perwakilan pribumi yang menjalankan roda pemerintahan dan kepentingan administrasi kolonial Belanda di Aceh. 

Mereka adalah para uleebalang, yang khawatir bahwa kemerdekaan RI –yang mengikutsertakan Aceh di dalamnya– akan menghilangkan status istimewa uleebalang, yang telah lama diberikan oleh kolonial Belanda pada mereka melalui perjanjian Korte Verklaring, setelah lumpuhnya Kerajaan Aceh (1496 – 1903); akibat kerjasama kolonial Belanda dengan uleebalang.


Ketegangan antara PUSA (beserta para pendukung kemerdekaan RI) dengan uleebalang bermuara pada meletusnya perang, yang kelak dikenal sebagai Perang Cumbok (1945 – 1946). 

Konflik bersenjata pun tak terhindarkan. PUSA yang sebelumnya berupaya menghindari konflik, mau tak mau terpaksa melakukan perlawanan terhadap uleebalang, yang telah memulai perang ini dengan menangkap sekaligus membunuh para tokoh-tokoh kharismatik PUSA. 

Perang pun berkobar seperti “nyala api yang membakar rerumputan kering”. Rakyat Aceh yang telah lama ditindas serta hak-haknya dirampas di bawah kekuasaan feodal dan absolut parauleebalang, menyokong tindakan PUSA untuk melakukan serangan balik terhadap kekejaman uleebalang yang telah bertindak di luar batas kemanusiaan.


Perang Cumbok yang dimulai pada Desember 1945 hingga Januari 1946, juga disebut sebagai Revolusi Desember. Di mana tatanan sosial yang feodal akhirnya berhasil ditumbangkan oleh perlawanan rakyat Aceh.

TATANAN SOSIAL FEODAL ULEEBALANG

Istilah Uleebalang dalam bahasa Aceh mengacu kepada seseorang yang mengepalainanggroe (suatu wilayah otonom / federasi), yang wewenangnya diberikan oleh Sultan Aceh sebagai perwakilan Sultan di daerah melalui pembubuhan Cap Sikureueng (cap sembilan) pada surat pengangkatan uleebalang. 

Para uleebalang identik dengan gelar “Teuku”. Dan, bagi keturunannya yang lelaki tetap menggunakan gelar “Teuku” (disapa ‘Ampon’ atau disingkat ‘Pon’); sedangkan anaknya yang perempuan menyandang gelar “Po Cut” atau “Cut” saja. 

"Dalam teritorial yang berada di bawah kekuasaan uleebalang, wewenang Sultan Aceh hanya sekadar formalitas belaka. Sehingga uleebalang dapat bertindak bebas tanpa perlu persetujuan dari Sultan. Wilayah nanggroe yang dipimpin oleh uleebalang, kemudian diadopsi oleh kolonial Belanda dengan nama Land Schoppen; sedangkan uleebalang-nya disebut Zelfbestuurder (penguasa wilayah otonom)" .(M. Nur El Ibrahimy, 2001: 84-85). 

Keadaan sosial di saat uleebalang masih berkuasa di Aceh yang diproteksi oleh kolonial Belanda, mirip dengan tatanan kasta yang berlaku dalam ajaran Hindu. Masyarakat dibedakan menurut tingkatan sosial, yang dilihat dari silsilah “keturunan” pihak tertentu. 

Sistem tatanan sosial yang berlaku di Aceh pada masa itu, sangatlah kompleks dan rumit. Polarisasinya bahkan sangat memecah-belah masyarakat Aceh. Feodalisme semacam ini, kian mendapatkan “habitat”-nya tatkala kolonial Belanda mulai memberlakukan administrasi sipil melalui perwakilannya di Aceh, yakni uleebalang.

Situasi kolaps yang menimpa Kerajaan Aceh pada ekspedisi kedua kolonial Belanda (9 Desember 1873) memberikan kesempatan pada upaya kolaborasi kolonial Belanda-Uleebalang, yang telah dimulai sejak tahun 1876, merupakan gagasan dari Teuku Nek Meuraksa, seorang uleebalang yang memimpin wilayah dekat Kutaradja (sekarang Banda Aceh).

Di mana para uleebalang yang menyerah dan memimpin suatu wilayah di bawah kekuasaannya yang absolut dan turun-temurun, mengadakan perjanjian dengan kolonial Belanda agar kekuasaannya dapat bertahan dan tidak mengalami situasi seperti Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai Korte Verklaring (perjanjian pendek), yang terdiri dari 18 pasal. Inti dari perjanjian ini menegaskan bahwa:

Wilayah uleebalang merupakan bagian dari Hindia Belanda;
Dijaga jangan sampai terlibat tanpa izin dengan orang asing; dan
Mengizinkan pengawasan oleh Belanda sepanjang menyangkut bea-cukai dan pungutan-pungutan lain jika diperlukan.(Antony Reid, 2005: 301). 

Perang Cumbok, Bentuk Perlawanan Bangsa Aceh terhadap Uleebalang (1945-1946).
Teuku Nek Meuraksa, penggagas kerjasama uleebalang dengan kolonial Belanda [Dok. Istimewa]

Menurut Hasan Saleh, yang juga pelaku sejarah dalam peristiwa Perang Cumbok, ketika kolonial Belanda mulai menjalankan administrasi pemerintahannya di Aceh,uleebalang selaku perwakilan kolonial Belanda yang terikat dengan perjanjian, diberikan hak-hak eksklusif, yang antara lain:

Di bidang Eksekutif, uleebalang berhak memerintah sebagai wakil kolonial Belanda di Aceh;
Legislatif, diatur berdasarkan adat-istiadat menurut kehendak masing-masing (pribadi) uleebalang; dan Yudikatif, dibentuk lembaga peradilan yang disebut Land Scheepsrecht dalam bahasa Belanda (bahasa Aceh musapat), yang berwenang menjatuhkan hukuman apa pun terhadap pihak-pihak yang tidak disukai oleh uleebalang, sehingga membawa konsekuensi penderitaan dan malapetaka bagi rakyat Aceh. 

Kekuasaan lembaga peradilan ini sangatlah luas, tidak hanya mencakup bidang sipil dan kepidanaan, tetapi juga meliputi masalah keagamaan serta masalah nikah, pasah, talak dan rujuk. 

Luasnya jangkauan kekuasaan yang berada di bawah wewenang uleebalang, maka dengan mudah seorang isteri diceraikan dari suaminya untuk dipersunting oleh uleebalang yang berhasrat pada isteri yang diceraikan tersebut. Sehingga muncul frasa yang menunjukkan kekesalan di dalam masyarakat Aceh pada waktu itu: “uleebalang; tanoh gob, tanoh jih; inong gob, inong jih.” (uleebalang; tanah orang, tanah dia; isteri orang, isteri dia) (Hasan Saleh, 1992: 16). 

Karena administrasi hukum dan agama juga dipusatkan dalam kekuasaannya, sedikit kemungkinan untuk menggugat apa yang dilakukan oleh uleebalang. (Antony Reid, 2012: 21).

Dengan dikuasainya lembaga peradilan (musapat) oleh uleebalang, sementara kolonial Belanda telah berkolaborasi dengan uleebalang untuk tidak mencampuri sedikit pun dalam hal ini, maka berbagai penyelewengan akhirnya terjadi; dan terus bertambah dari waktu ke waktu di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh uleebalang. (Nazaruddin Sjamsuddin, 1999: 19).

Akibat dari tatanan sosial yang feodal ini, sikap antipati rakyat Aceh pun bermunculan dan terus membesar terhadap uleebalang, yang mencapai klimaks-nya pada Desember 1945. Perlawanan rakyat pun berkobar. 

Harapan rakyat untuk bebas dari kekangan dan penindasan oleh uleebalang bukan lagi hal yang mustahil. Pekik perlawanan rakyat tak lagi bisa dibungkam. Revolusi telah di depan mata.

REFORMASI PENDIDIKAN DI ACEH

Sebelum Perang Cumbok mendera, kondisi Aceh dari masa 1930-an hingga 1940-an, sedang mengalami transformasi yang berkembang pesat. Khususnya dalam hal pendidikan. Salah satu kontribusinya adalah pola pikir masyarakat Aceh yang ikut berubah. 

Terutama para generasi muda. Rakyat Aceh yang sebelumnya awam tentang politik, mulai memahami apa saja hak-hak dasarnya yang tidak boleh dirampas, apalagi ditindas. Baik itu dilakukan oleh kolonial Belanda, maupun oleh perwakilan pihak penjajah yang dimaksud (uleebalang).

Gerakan yang muncul di tahun 1930-an ini bangkit dari kalangan kaum ulama tradisional Aceh. Modernisasi pun dimulai. Bagi para ulama ini, modernisasi selaras dengan tujuan ajaran Islam yang menginginkan tercapainya kemajuan bagi kehidupan masyarakat.

Perang Cumbok, Bentuk Perlawanan Bangsa Aceh terhadap Uleebalang (1945-1946).
Sekolah rakyat (volkschool) pada tahun 1913 di Lamteuba, Kec. Seulimuem, Aceh Besar. [Media-kitlv.nl]


Hampir semua anak-anak Aceh pada masa itu, baik yang bersekolah diVolkschool –sekolah 3 tahun dengan tujuan mengajar membaca dan menulis dalam bahasa Melayu dengan aksara latin– maupun sebagian anak Aceh yang sama sekali tidak sekolah, setiap hari memiliki waktu beberapa jam yang digunakan untuk mengaji Al-Qur’an. 

Pengajian seperti ini telah berlangsung berabad-abad lamanya. Meskipun semikian, pada era 1920-an gaya pendidikan Dayah –suatu tingkat pendidikan agama tertinggi di Aceh– mendapat tantangan. 

Beberapa ulama tradisional terkemuka dengan penuh semangat menjawab tantangan ini dengan mendirikan sekolah-sekolah dengan kurikulum yang lebih luas dan cara pengajaran yang lebih modern, dengan tidak menghilangkan ciri khas pendidikan Islam yang berlaku diDayah.(Reid, Op.cit., 2012: 33-34). 

Perang Cumbok, Bentuk Perlawanan Bangsa Aceh terhadap Uleebalang (1945-1946).
Potret Volkschool di Aceh pada masa lampau [Dok. Istimewa]
Salah satu usaha mendirikan sekolah yang perlu diberi perhatian khusus karena kemampuannya mengembangkan organisasi yang luas dan kepemimpinan yang kharismatik, yaitu sekolah Jamiatul Diniyah yang didirikan oleh Teungku Muhammad Daud Beureu’eh (Abu Daud Beureu’eh) pada 1930-an di Garot, dekat Sigli. Daud lahir di Beureu’eh pada tahun 1899. 

Ia mendapatkan sebagian besar pendidikannya dari sekolah tradisional keagamaan di daerah asalnya di Pidie. Meskipun demikian, ia terbuka pada cara-cara baru pengajaran dan praktik agama serta kesejahteraan masyarakat. Dengan cepat ia menjadi terkenal sebagai orator yang sangat berbakat dan persuasif.

Perang Cumbok, Bentuk Perlawanan Bangsa Aceh terhadap Uleebalang (1945-1946).
Peta wilayah nanggroe-nanggroe uleebalang di Pidie masa kolonial Belanda [Wikipedia]

Sebelumnya, pada 1920-an, ulama muda yang vokal ini terpaksa meninggalkan kampung halamannya karena diteror oleh seorang uleebalang tua dan sangat kejam di wilayah Pidie, penguasa nanggroe Keumangan, Teuku Umar Keumangan. 

Berkat mendapat perlindungan dari Tuanku Raja Keumala (penasihat utama Gubernur kolonial Belanda bidang agama di Aceh), Daud Beureu’eh berturut-turut mengajar di Tapaktuan (Aceh Selatan) dan Lhokseumawe (Aceh Utara). 

Di dua tempat ini ia menunjukkan keahlian dan semangat yang hebat dalam mengatasi pertentangan antara “kaum muda” dan “kaum tua”. 

Puncak antusiame reformis ini adalah terbentuknya organisasi modern, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada 1939-1942. Organisasi ini lahir dari satu konferensi yang dipersiapkan dengan sangat hati-hati pada Mei 1939 oleh Teungku Abdul Rahman dari Perguruan Islam di Peusangan sekarang masuk dalam wilayah Bireuen. Teungku Muhammad Daud Beureu’eh terpilih sebagai Ketua Umum PUSA secara aklamasi. 

PERLAWANAN RAKYAT

Sebagai organisasi yang dikhususkan untuk bidang pendidikan, PUSA tidak serta-merta menutup mata bahwa realita di Aceh saat itu, sedang berada di bawah kolonialisme Belanda –dan selanjutnya Jepang. Menindaklanjuti kenyataan itu, para pemuda PUSA mulai melakukan suatu gerakan politik yang bertujuan mengusir pihak penjajah dari bumi Aceh.

Dan, pada akhirnya, ketika kemerdekaan RI berhasil diraih dan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, rakyat Aceh sangat antusias menyambut kabar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa semangat berdirinya republik dari rakyat Aceh sangatlah besar. PUSA yang merupakan organisasi terkemuka di Aceh pada masa itu, mendukung penuh kemerdekaan Republik Indonesia.

Namun, kabar gembira ini kurang mendapat sambutan –kalau tidak ingin disebut penolakan– dari para uleebalang, yang di masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, mendapatkan status istimewa, yang memberikan kewenangan bagi mereka berkuasa secara mutlak dan tak boleh digugat sama sekali oleh rakyat Aceh, kecuali pihak kolonial Belanda yang melakukannya. Pertentangan pun dimulai.

Bentuk ketidaksenangan uleebalang diwujudkan dengan teror bersenjata bagi setiap rakyat Aceh yang mendukung kemerdekaan RI. Para tokoh utama yang diburu olehuleebalang adalah pemimpin kharismatik PUSA, yang mempunyai pengaruh besar dan dekat dengan rakyat Aceh. 

Pusat pertentangan hebat antara uleebalang dan PUSA yang didukung oleh rakyat Aceh, berlokasi di Pidie. Dari wilayah ini pula kejatuhan uleebalang dimulai, kekuasaan feodal uleebalang runtuh satu per satu, hingga pada akhirnya uleebalang tidak lagi mendapatkan tempat di seluruh penjuru Aceh.

Perang Cumbok, Bentuk Perlawanan Bangsa Aceh terhadap Uleebalang (1945-1946).
Peta yang memperlihatkan secara rinci nanggroe-nanggroeuleebalang di Pidie. [Dok. Istimewa]


Sebelumnya, Fujiwara sebagai organisasi yang didirikan kolonial Jepang, dalam buku memoarnya mencatat mengenai situasi di Aceh pada pertemuan mereka 14 Januari 1941:

“Rakyat Aceh sangat benci kepada Belanda dan uleebalang. Uleebalangadalah orang-orang kepercayaan Belanda dan penindas rakyat, hampir semua rakyat Aceh tidak percaya kepada uleebalang dan bahkan benci kepada mereka. 

Rakyat Aceh adalah penganut agama Islam yang sangat taat, sedemikian rupa sehingga atas nama Islam mereka tidak takut perang dan tidak takut mati. Organisasi-organisasi Aceh semuanya berlandaskan Islam. Organisasi yang terbesar adalah PUSA.”(Antony Reid, 2011: 284). 

Gugurnya banyak penduduk desa membuktikan anggapan rakyat tentanguleebalang sebagai kumpulan manusia-manusia buas. Hal itu juga membuktikan keluhan-keluhan rakyat terhadap para uleebalang. Ketakutanuleebalang juga semakin meningkat mengenai masa depannya yang suram dalam suatu masyarakat Aceh yang “demokratis”. 

Dengan segala kesalahan-kesalahannya, saat itu Teuku Daud Cumbok (Ampon Cumbok), yang juga penguasa nanggroe Cumbok, tampil sebagai satu-satunya tokoh yang mungkin bisa menyelamatkan kekuasaan uleebalang yang absolut dan feodal. 

Utusan-utusan uleebalang segera di kirim ke Medan (sekarang wilayah Sumatera Utara) untuk memohon bantuan pada pelindungnya, kolonial Belanda yang kembali ke Indonesia dengan cara “menumpang” pada pasukan sekutu yang dipimpin Inggris untuk melucuti senjata pasukan Jepang yang telah menyerah setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat; dan selanjutnya kolonial Belanda berkeinginan untuk kembali menjajah Indonesia. (Reid, Op.cit., 2012: 278-279). 

Perang Cumbok, Bentuk Perlawanan Bangsa Aceh terhadap Uleebalang (1945-1946).
Rumah Teuku Daud Cumbok di Lam Meulo pada tahun 1912 [Media-kitlv.nl]

Kembalinya kolonial Belanda melalui pasukan sekutu ke wilayah RI yang baru saja diproklamirkan kemerdekaannya, ditanggapi oleh golongan uleebalang sebagai kabar gembira. Sebab, kekuasaan absolut uleebalang yang telah banyak direduksi semasa kolonial Jepang akan segera dipulihkan, bila kolonial Belanda berhasil kembali ke Aceh.

Sebagian besar uleebalang Pidie kemudian mengadakan “kenduri” dan berkumpul di Beureunuen pada 22 Oktober 1945. Bertempat di rumah uleebalang paling kejam di Pidie, yaitu Teuku Umar Keumangan. 

Dua ekor kerbau disembelih pada acara kenduri tersebut. Rapat konsolidasi ini dilakukan guna menyemangati parauleebalang untuk menghadapi situasi yang cepat berubah dan menyerukan untuk bersatu, demi mempertahankan kekuasaan mereka. (Hasan Saleh, Op.cit., 1992: 37-38),

Perang Cumbok, Bentuk Perlawanan Bangsa Aceh terhadap Uleebalang (1945-1946).
Rumah mewah (waktu itu) milik Teuku Umar Keumangan pada tahun 1920-an [Lihat Reid, 2012: hlm. 40]
Setelah terjadi ketegangan hebat pada 4 Desember 1945 di kota Sigli, selanjutnya pada 10 Desember 1945, para uleebalang kembali berkumpul di Njong, Lueng Putu (sekarang wilayah Pidie Jaya), tepatnya di rumah Teuku Laksamana Umar dan melakukan rapat. 

Hasil keputusannya adalah membentuk pasukan bersenjata yang dinamakan Badan Penjaga Keamanan (BPK), yang bertugas melakukan teror terhadap siapa pun yang menentang uleebalang, tidak terkecuali ulama. (Antony Reid, Op.cit., 2012: 279).

Setelah pertemuan di Lueng Putu itu, Daud Cumbok menghukum semua tokoh penting PUSA dan Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang bisa dijumpainya. Pada 10-11 Desember 1945, pengikut-pengikutnya menggerebek rumah 4 tokoh PRI yang paling terkemuka di Lam Meulo (sekarang Kota Bakti, wilayah Pidie), tetapi totoh-tokoh ini telah lebih dulu melarikan diri. 

Sejumlah besar pakaian dan barang berharga dirampas pasukan Daud Cumbok. Orang-orang Daud Cumbok suka menggunakan tindakan-tindakan kasar dan barbar terhadap pihak yang dianggap sebagai musuh. Pasukan istimewa Daud Cumbok, yaitu pasukan “Cap Sauh” dan “Cap Tombak”. Kedua pasukan ini tugasnya adalah merampok, menculik, memperkosa dan membunuh tanpa pandang bulu.

Keluarga Teuku Daud Cumbok saat berada di rumahnya pada tahun 1912 [Media-kitlv.nl]
Para pemimpin terkemuka dari organisasi-organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang pro kemerdekaan RI dan sangat anti-kolonial Belanda, mulai menaruh simpati pada perjuangan rakyat di Pidie yang melakukan perlawanan terhadap uleebalang yang notabenya perwakilan kolonial Belanda di Aceh. 

Dukungan pun mengalir. Sekitar 5000-an orang yang dilengkapi persenjataan dan siap tempur, mulai bergerak ke Pidie untuk melakukan serangan balik pada Daud Cumbok. Mereka sebagian besar berasal dari Seulimuem (Aceh Besar), Bireuen, dan Idi (Aceh Timur); dan juga dari beberapa wilayah lainnya di Aceh.

Serangan balik yang sangat menentukan terjadi pada 12 Januari 1946. Pertempuran sengit berkecamuk sepanjang hari. Menjelang malam, hasilnya sudah hampir dipastikan bahwa perlawanan rakyat terhadap Daud Cumbok akan berhasil. 

Tetapi kemudian mereda sejenak, yang dimanfaatkan oleh Daud Cumbok beserta 90 pengikutnya untuk melarikan diri. Tujuan Daud Cumbok dan pengikutnya adalah ke Sabang sebuah pulau yang pada masa itu masih dikuasai oleh kolonial Belanda yang berperan sebagai pelindung uleebalang.  

Perang Cumbok, Bentuk Perlawanan Bangsa Aceh terhadap Uleebalang (1945-1946).
Peta yang menunjukkan pejuang republik bersama rakyat Aceh mengepung dan melakukan penyerangan terhadap orang-orang pro kolonial Belanda yang dipimpin Teuku Cumbok. [Dok. Istimewa] 


Mereka menuju jajaran perbukitan antara Pidie dan Aceh Besar, dengan harapan dapat meretas jalan hingga sampai ke suatu tempat, di mana mereka bisa mendapatkan perahu untuk menyeberang. Meskipun demikian, karena diburu oleh ribuan orang, mereka segera terkepung di lereng Gunung Seulawah. 

Kontak-tembak terjadi lagi. Dan, pada 16 Januari 1946 Daud Cumbok beserta pengikutnya menyerah. Perang Cumbok selesai dan nama Lam Meulo pun hilang dari peta bumi. Nama kota itu diganti menjadi Kota Bakti, untuk menghormati para pahlawan dan rakyat yang gugur di sana.

Perang Cumbok, Bentuk Perlawanan Bangsa Aceh terhadap Uleebalang (1945-1946).
Atjeh Tram; Kereta api di Aceh pada masa kolonial Belanda, yang menghubungkan Beureunuen-Lam Meulo (sekarang Kota Bakti) pada tahun 1913 [media-kitlv.nl].
Dampak dari perlawanan heroik rakyat Aceh terhadap kekuasaan feodal uleebalang–yang telah lama merampas dan menindas rakyat dengan dukungan kolonial Belanda– dalam Perang Cumbok adalah demokratisasi masyarakat Aceh secara keseluruhan. “Segala sesuatu yang menjadi duri di mata rakyat semasa pemerintahanuleebalang dihapuskan. Pertanian, perkebunan, peternakan dan sebagainya, diusahakan oleh rakyat dengan giat".

Adanya partisipasi rakyat Aceh yang luas dalam perlawanan terhadap uleebalang, juga didorong oleh harapan kembalinya tanah-tanah mereka, yang telah dirampas oleh uleebalang selama berkuasa. 

Dan, juga merupakan wujud kesetiaan rakyat kepada ulama Aceh, serta tentu saja ingatan yang tidak pernah pupus mengenai perjuangan tiada henti melawan si kafir kolonial Belanda, yang menjadi pelindung bagi uleebalang.

Bentuk perlawanan rakyat Aceh terhadap kekuasaan tirani uleebalang, merupakan puncak dari keinginan rakyat untuk mengakhiri penindasan yang mereka alami selama ini. Di mana uleebalang berkuasa secara mutlak dan semena-mena, dengan dukungan dari kolonial Belanda.

Torehan sejarah dalam Perang Cumbok menunjukkan bahwa rakyat Aceh bersama PUSA, beserta organisasi-organisasi lainnya yang mendukung kemerdekaan, menyokong penuh berdirinya negara Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat dan demokratis; serta bebas dari segala bentuk penjajahan oleh pihak asing. 

editor : Ni 
sumber: baranom.wordpress.com. 

0 komentar :

Redaksi menerima tulisan dari mahasiswa dan masyarakat umum bisa berupa opini, cerpen, puisi dan lain-lain. tulisan bisa di kirim ke email perspsycho@gmail.com disertai dengan identitas penulis.
© 2014-2015 PERSePSI POST.Designed by Bloggertheme9. Powered By Blogger