Ilustrasi
Oleh: Alan Budiman
Rupiah
saat tulisan ini dibuat sedang berada di angka 13,250 per dollar. Dari analisa
tekhnikal maupun fundamental dua mata uang (rupiah dan dollar) ada kemungkinan
rupiah akan semakin terpuruk ke angka 14,000 dalam 3 atau 4 bulan lagi.
Dalam
kondisi seperti ini ada banyak orang yang sudah menuliskan usulan-usulannya.
Sebuah solusi yang nampak logis untuk segera dieksekusi oleh pemerintah.
Mewajibkan eksportir merupiahkan dollar yang didapat dalam batas tertentu,
mengutamakan investor lokal, membatasi tabungan dollar, jangan belanja atau
jalan-jalan ke luar negeri, bahkan sampai ada yang ‘mempermasalahkan’ beasiswa
luar negeri.
Dari
semua solusi ini, mungkinkah pemerintah dalam hal ini presiden mengeluarkan
kebijakan seperti itu? Jawabannya tidak realistis dan malah hanya akan menjadi
angin lalu.
Rupiah
melemah ini seperti kita sedang sakit perut, tapi yang dipijat adalah paha dan
jari kaki. Seperti saat kita demam panas tapi yang disuntik bukanlah kepala.
Persis seperti saat kita menyentuh najis, namun yang dibersihkan bukan hanya
bagian yang menyentuh, namun semua bagian tubuh yang wajib dibersihkan untuk
sahnya wudlu.
Saat
rupiah melemah, masalahnya bukan mata uang itu sendiri, melainkan kondisi
ekonomi Indonesia. Usulan-usulan logis di atas mungkin memang memiliki pengaruh
terhadap rupiah, namun sangat kecil dan kemungkinan terlaksananya juga kurang
realistis. Rumit sekali jika pemerintah mewajibkan eksportir merupiahkan
dollarnya, bukannya tidak mau mengutamakan investor lokal tapi adakah investor
dengan nominal besar? Justru investor asing lah yang bisa menguatkan rupiah
bukan sebaliknya. Membatasi tabungan dollar? Bukankah investasi asing dan
tabungan dollar juga bisa disebut devisa? Bukankah tabungan valuta asing juga
disebut bank devisa?
Sementara
soal jalan-jalan dan beasiswa luar negeri? Tidak salah. Namun nominal transaksi
dan efeknya terhadap penguatan rupiah sangat amat kecil. Lantas masih
relevankah pemerintah melakukan itu semua? Saya rasa ada yang jauh lebih
penting dan skala lebih besar yang bisa dilakukan.
Berikut
ini paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti penyama
rataan pajak perusahaan asing dan lokal, mengurangi pajak penghasilan bagi
perusahaan yang berorientasi ekspor minimal 30%, pembebasan pajak nilai bagi
industri galangan kapal, meningkatkan porsi penggunan biodesel sollar agar
tidak boros BBM, pendirian reasuransi BUMN serta memperlancar remitansi dan
mengurangi pajak bagi investor yang mau re-investasi di Indonesia.
Selain
paket kebijakan ekonomi tadi, pemerintah juga bersiap untuk melakukan
pembangunan ifrastruktur yang mendukung kemajuan ekonomi. Dalam presentasi
Presiden Jokowi pada Indonesia outlook 2015 Januari lalu, beliau sudah
memaparkan target yang harus dicapai oleh masing-masing menteri. “Kalau tidak
mampu, masih banyak yang siap jadi menteri” begitu kelakar Presiden Jokowi.
Di
Sumatera akan dibangun jalan tol dengan lebar 100 meter, transmisi listrik di
kanan dan rel kereta di kiri agar memudahkan pembebasan lahan. Juga ada target
35 ribu megawatt. Pembangunan 59 waduk di seluruh provinsi yang diharap dalam 2
tahun ke depan mampu menghasilkan minimal 10 ribu ton beras. 30 bandara baru
akan dibanguh dan diperbaiki, namun kemudian baru-baru ini direvisi bahwa akan
ada 100 bandara baru dimana 49 diantaranya adalah bandara di daerah terluar
Indonesia dan rawan bencana. Percepatan pembangunan termasuk kereta di Papua.
Target wisatawan juga ditingkatkan yang seharusnya 2 kali lipat dari Thailand
(28 juta).
Semua
rencana tersebut sekilas nampak ‘bercanda’. Namun melihat progress dan tahapan
yang sudah dilakukan, sepertinya memang akan terlaksana tahun ini. Target
swasembada bukan mimpi atau orasi kampanye, meski memang cukup gila jika
sekelas Presiden masih memikirkan pembangunan waduk.
Lalu
apakah dengan begitu rupiah otomatis akan membaik? Pasti. Lantas bagaimana
dengan pernyataan bahwa melemahnya rupiah adalah dampak ekonomi global dan
menguatnya ekonomi AS? Ya benar juga.
Pair
mata uang antara dollar/rupiah pasti melibatkan kondisi ekonomi dua negara
yakni Amerika dan Indonesia. Jadi bukan menyalah-nyalahkan Amerika atau
mencari-cari alasan, kenyataannya memang seperti itu. Sekalipun ekonomi
Indonesia stabil dan lebih baik dari sebelumnya tetap akan membuat rupiah
terpuruk tehadap dollar jika Amerika ekonominya membaik. Tapi rupiah akan tetap
stabil terhadap mata uang negara lainnya.
Menguji Kesaktian Rupiah
Dalam
kondisi terpuruk seperti sekarang, biasanya akan diikuti dengan naiknya harga
beras, tahu tempe, daging dan barang-barang yang selama ini diimpor dari luar.
Namun yang paling penting dan harus dinaikkan dalam kondisi seperti sekarang
tentulah BBM, karena pemerintah era Jokowi sudah menyatakan tidak akan
mensubsidi BBM. Menjadi menarik ketika pertamina juga sepakat akan mengevaluasi
harga BBM setiap dua minggu sekali mengikuti pergerakan harga minyak dunia dan
dollar. Jika saat ini rupiah sudah melambung di atas 13,200 bukankah aneh jika
BBM tidak naik? Cukup aneh, tapi ini menunjukkan bahwa pergerakan rupiah
merupakan kewajaran yang membuat Presiden masih bisa berkomentar “BI
tenang-tenang saja ya saya juga tenang-tenang saja lah.”
Lalu
bagaimana dengan LPG? tiket kereta ekonomi? Beras? Untuk LPG dan tiket kereta,
dengan atau tanpa perlemahan rupiah juga sudah biasa naik. Untuk beras memang
sedikit unik, karena pemerintah dengan arogannya menstop impor beras namun di
lapangan terjadi kelangkaan. Masyarakat seolah diajak untuk berdemo agar beras
melimpah, sekalipun dengan cara membuka kran impor. Tapi pemerintah bergeming,
Jokowi dan JK memerankan sknario berbeda yang membuat kita semua kebingungan.
Namun melihat sampai saat ini belum ada perubahan soal impor beras, rasanya
lakonan Jokowi JK yang beda arah tersebut bisa dibilang manjur membuat
pengusaha beras ikut bingung.
Jadi
sekarang kita perhatikan saja apakah BBM akan kembali naik? Jika tidak, berarti
rupiah versi Jokowi cukup sakti karena mampu mematahkan ketakutan terhadap
melemahnya rupiah.
Ekonomi Amerika
Dalam
beberapa rilis kalender ekonomi Amerika memang menunjukkan penguatan yang
fantastis. Salah satunya NFP (Non Farm Payrolls) bulan ini yang menunjukkan
positif dan bahkan melampaui ekspektasi membuat Dollar bulan ini tanpa ampun
membantai semua pair yang tersedia di pasar. Bahkan sekalipun rilis NFP
negatif, saya yakin perlemahan terhadap dollar hanya berlangsung sehari dua
hari, karena semua analisa mengarah pada penguatan. Belum lagi data
berkurangnya pengangguran, Product Price Index, Consumer Confidence Index dan
banyak lagi menunjukkan angka positif.
Sekali
lagi bukan mencari-cari alasan, kenyataanya memang seperti itu. Tapi kalau
tulisan ini masih disebut pembelaan atau mencari-cari alasan, ya terserah lah.
Saya hanya coba memberi sedikit pandangan sederhana tentang rupiah dan dollar,
bahwa yang logis belum tentu berdampak dan yang nampak tidak berdampak
sebenarnya sangat logis dan vital jika dieksekusi.
Bukan
saya tidak menghargai artikel-artikel sebelum ini, saya sudah katakan bahwa
semuanya benar namun ada hal yang jauh lebih besar yang harus dilakukan oleh
pemerintah, and they did! Kita sebagai warga negara Indonesia, persis seperti
kata Presiden “tenang-tenang saja lah.” BI dan pemerintah juga pasti memikirkan
hal ini, bukankah mereka memang digaji untuk itu? Ya meskipun kita boleh atau
sah saja mengomentari, mengusulkan, memprotes dan sebagainya silahkan. Tapi
jika itu dampaknya lebih negatif mengapa kita tak coba ‘menenangkan’ masyarakat
agar setidaknya mereka nyenyak saat tidur. Kalaupun tidak mampu mengurangi
beban hidup masyarakat, ya tolong jangan diganggu dengan isu negatifnyang mengganggu
mimpi indah mereka.
Idealnya
memang kita maunya seperti China yang justru melakukan devaluasi (perlemahan)
terhadap mata uangnya untuk melawan dollar. China yang sudah tak tergantung
impor itu bisa tidur lebih nyenyak justru ketika mata uangnya melemah, karena
dengan begitu nila ekspor mereka otomatis naik. Saya pernah menuliskannya di
sini,
http://metro.kompasiana.com/2015/02/25/rupiah-dan-mimpi-indonesiaku-708851.html
Untuk
menyamai China, perjalanan masih sangat panjang. Tapi bagaimanapun harus
dimulai dengan langkah pertama. Ya seperti Indonesia outlook 2015 yang sudah
dipresentasikan oleh Presiden. Kita lihat saja mana sajakah target yang tidak
tercapai? Dan bagaimana reaksi Presiden terhadap menteri-menterinya yang
disuruh kerja kerja kerja.
Saya
akan tetap melihat pergerakan dan kebijakan pemerintah. Entah mengapa saya
lebih melihat keseriusan pemerintahan yang sekarang. Mungkin karena media saat
ini sudah sedemikian deras dan transparan, atau mungkin juga karena saya
pemilih Jokowi pada pilpres lalu. Tapi terserah apapun penilaiannya, setahun
lagi rasanya saya akan mengevaluasi tulisan ini. Benar tidaknya pandangan saya
terhadap pemerintah, rupiah dan ekonomi Indonesia.
Sebagai
penutup, saya memprediksi bank sentral atau The Fed akan menurunkan suku
bunganya dan Amerika melakukan perlemahan terhadap mata uangnya sendiri, atau
skenario lainnya mata uang negara lain akan menguat terhadap dollar pasca
pengumuman suku bunga The Fed yang recananya akan diumumkan pertengahan tahun
ini. Karena bagaimanapun penguatan dollar memang sudah berlebihan dan
memecahkan banyak rekor terhadap mayoritas mata uang. Percaya atau tidak,
Amerika pun tidak mau mata uangnya terus-terusan menguat. Karena di balik
penguatan tetap ada konsekuensinya.
Tapi
untuk prediksi dan paragraf terakhir ini anda boleh tidak percaya, namanya juga
prediksi. Mungkin nanti ketika analisa tekhnikal dan fundamental mengarah pada
tren perlemahan akan saya bahas lagi.
Tenang-tenang
saja lah, sambil kita lihat apakah Pak Jokowi masih bilang tenang jika sudah
14,000 perdollar? Kalau iya dan inflasi terkendali, berarti rupiah memang mulai
sakti.[]
(Kompasiana.com)