BUNYI alarm bersahutan berusaha mengusik lelapnya tidur pada dini hari minggu lalu, Jumat (27/2/2015) di kaki Gunung Parang. Di dalam sebuah saung bambu yang dinamakan Bale Semah oleh pengelola Badega Gunung Parang, Tim Kompas.com beristirahat. Kala itu kami bersiap mendaki gunung batu yang menjulang tinggi untuk mengejar sang mentari keluar dari peraduannya.
Mesin mobil mulai menderu tanda telah siap untuk mengantar ke titik awal pendakian di Desa Pesanggrahan, Tegalwaru, Purwakarta. Kami mengawali di sebuah kantor desa yang masih bersebelahan dengan Kampung Cihuni. Hanya berjarak sekitar satu kilometer dari tempat kami singgah. Tepat pukul 05.00 WIB, mobil meninggalkan pelataran parkir yang berada di pinggir jalan Kampung Cihuni.
Gunung Parang selain terkenal oleh pemanjat sebagai tebing yang sulit untuk dipanjat, ternyata juga dapat didaki layaknya gunung-gunung lain. Melalui punggung gunung, puncaknya yang berketinggian hampir 950 meter di atas permukaan laut dapat diraih. “Di puncak kita bisa lihat Waduk Jatiluhur, perkampungan, persawahan, dan bukit-bukit lain," kata Wawan Lukman Hidayat, Ketua Pengelola Badega Gunung Parang sehari sebelum kami mendaki.
Sinar lampu di kepala membantu kami membelah kegelapan. Lepas dari sebuah kandang kambing, kami mulai memasuki batas hutan. Tak ada yang dapat terlihat tanpa bantuan lampu. Semua terlihat homogen. Hanya hitam yang mewarnai sekitar kami. Namun perlahan fajar telah datang. Sinarnya menembus di antara dedaunan menerangi jalur pendakian.
Jalur trekking puncak Gunung Parang, Desa Pasanggrahan, Tegalwaru, Purwakarta, Jumat (27/2/2015). Wisata alam hutan dan tebing gunung api purba ini jarang dikenal, meskipun hanya berjarak sekitar 70 kilometer dari ibu kota Jakarta.
Baru saja mendaki setengah jam, bebatuan besar menghadang perjalanan. “Di sini biasanya kalau pendaki yang lain suka pada nyerah gara-gara ekstrem jalurnya," kata Dhani Daelani, pemandu dari Badega Gunung Parang yang mengantarkan kami. Benar saja, untuk melewatinya, jemari tangan harus bersusah payah mencari pegangan. Pijakan kaki pun menjadi licin akibat tanah gembur dan akar-akar yang menjulur ke luar.
Mentari makin bergerak menuju singgasana tertingginya. Tak ada angin yang berembus. Hutan yang kami lewati benar-benar membuat keringat makin mengucur deras. Beruntung kami menggunakan kaus dengan bahan quick dry. Dengan bahan yang tipis, ringan, dan berpori membuat kaus bahas menjadi cepat kering. Namun jalur yang terus menanjak memaksa peluh tetap keluar. Bahkan sampai menetes ke tanah.
Sekitar satu jam pendakian melewati punggung gunung yang terjal, kami sampai di sebuah pertigaan. Pertigaan tersebut merupakan puncak bukit kecil dengan dataran yang cukup luas. Jika dilihat berdasarkan kerapatan garis kontur di peta buatan Badan Informasi Geospasial, memang jalur yang kami lewati cukup terjal. Hal itu karena garis kontur jalur kami cukup rapat. Maka jangan heran jika mendaki Gunung Parang bersiaplah untuk kesulitan melintasi medan pendakian. Bawalah cadangan air ekstra untuk menghindari dehidrasi.
Pemandangan rumah-rumah kampung yang tersamar kabut dilihat dari puncak Gunung Parang, Jum'at (27/2/2015).
“Permisi kang. Numpang lewat ya," ucap saya. Ternyata kami tidak sendiri di gunung batu ini. Tiga orang terlihat berkumpul di dekat tumpukan batu dan beratapkan plastik. Satu orang sedang tiduran beralaskan matras dan menggunakan kantong tidur. Sementara dua orang lainnya sedang berdiri. Menurut cerita sang kepala Badega Gunung Parang, memang di atas gunung terdapat sebuah makam. Berdasarkan legenda yang diceritakan, tumpukan batu itu adalah makam Nyi Ronggeng yang entah diketahui alasan meninggal dan mengapa dimakamkan di atas gunung.
Sebelum meninggalkan kanopi hutan, kami berkumpul untuk bersama-sama menuju puncak gunung. Kini di kiri dan kanan jalur sudah menjadi jurang yang dalam. Sedikit terpeleset, nyawa taruhannya. Saking terjalnya jalur, kami harus duduk bertumpu sebelum menuruni jalur yang nantinya akan menanjak tajam. Tangan meraba-raba mencari sesuatu yang dapat digenggam. “Hati-hati. Tas kameranya dioper aja. Bahaya," kata saya kepada teman-teman dari Kampung Cihuni yang membawakan alat-alat dokumentasi.
Sekitar pukul 06.00 WIB, pepohonan telah menghilang di atas kepala kami. Langit yang berawan mengganti daun-daun yang sedari tadi menutup pandangan ke langit. Menurut Kang Dhani, sekitar dua puluh menit perjalanan lagi kami akan segera menapakkan kaki di puncak. Namun kami harus melewati igir-igir –pematang cekung dan runcing – tipis sebelum tiba. Bagaikan punuk unta, kami harus naik dan turun igir-igir agar dapat menjejakkan di puncak tebing. Napas mulai terengah-engah, keringat makin deras membasahi tubuh, dan matahari mulai melumuri kulit.
Pendaki berada di puncak 2 Gunung Parang di Desa Pasanggrahan, Kecamatan Tegalwaru, Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (27/2/2015). Pendakian menuju puncak dapat ditempuh selama 2 jam dari titik awal di Desa Pasanggrahan. KOMPAS.com / FIKRIA HIDAYAT
Impian untuk pemandangan Waduk Jatiluhur, pemukiman, bukit-bukit, dan persawahan yang diceritakan tampak sirna seperti debu tertiup angin. Kabut-kabut tipis turun perlahan menutup jarak pandang. Semburat jingga matahari pun tak terlukis di langit Jawa Barat ini. Ekspresi kekecewaan sedikit tersurat di wajah Fikria Hidayat yang mana akan mengambil gambar lanskap Purwakarta dari atas puncak. Sementara saya dan Roderick duduk, para pemandu dari Badega Gunung Parang bersiap-siap untuk menyiapkan alat-alat pemanjatan.
Sekitar setengah jam menunggu sang kabut, kami sedikit lega karena dapat melihat rumah-rumah yang terlihat kecil di kaki gunung. Salah satu waduk terbesar di Indonesia ini akhirnya muncul di balik kabut. Bukit-bukit yang berlomba-lomba untuk menjadi yang tertinggi juga menampakkan diri. Sawah hijau menghampar berdampingan dengan rumah-rumah penduduk. Kami tersenyum. Inilah perjuangan menggapai puncak tebing andesit tertinggi kedua di Asia.
(Kompas.com)
0 komentar :